Memperhatikan
pernyataan seorang pejabat di Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan,
Kemdikbud, yang menyatakan bahwa guru wajib meneliti dan menulis karya ilmiah,
saya merasa prihatin dan "nggreges". Pasti akan semakin banyak guru
stres. Kebijakan itu harus dikoreksi, diluruskan, dan diperbaiki. Saat ini
lebih adri 800.000 orang guru dan pengawas tidak dapat naik pangkat karena
kewajiban itu.
PGRI
sgt mendukung upaya peningkatan profesionalitas guru. Tetapi, menjadikan
meneliti dan menulis karya ilmiah, yang masuk dalam publikasi ilmiah, wajib
dilaksanakan oleh guru dan jika guru tidak melakukannya dia tidak bisa naik
pangkat dan bahkan tunjangan profesinya terncam tdk diberikan, sungguh
kebijakan yang keliru, menyengsarakan guru, dan dapat berdampak pada gagalnya
pelaksanaan tugas utama guru.
Guru
dan dosen memang termasuk pendidik. Tetapi, tugas utama guru itu berbeda dengan
dosen. Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar,
membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada
pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan
pendidikan menengah (UUGD Pasal 1 Ayat (1)).
Guru
adalah peran (role). Peran yang dimaksud hanya nampak jika tugas utamanya dan
fungsi khasnya dijalankan. Fungsi khas guru adalah mendidik dan mengajar.
semakin mendekati optimal seorang guru semakin nampak peran yang diembannya.
Peran sebagai guru, bukan peneliti, bukan juga ilmuwan.
Kalau
pun guru harus juga melakukan penelitian dan penulisan karya ilmiah (walaupun
dalam UU Guru dan Dosen, tidak disebutkan satu kata pun), maka kegiatan itu
tidak boleh menjadi kewajiban yang menghambat nasib guru jika dia sudah
melaksanakan tugas pokoknya dengan baik.
Jadi,
kegiatan publikasi ilmiah itu (meneliti dan menulis karya ilmiah beserta
variannya), hanya sebagai pendukung untuk meningatkan mutu profesionalitasnya.
Jika guru mampu menyusun publikasi ilmiah dia bisa naik pangkat lebih cepat,
tetapi jika guru tidak mampu menyusun publikasi ilmiah, tetapi sudah mampu
melaksanakan tugas pokoknya dengan baik, walau tidak mampu menyusun publikasi
ilmiah, dia tetap berhak naik pangkat dan memperoleh hak lainnya.
Sedangkan
dosen adalah pendidik profesional dan ilmuwan dengan tugas utama
mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan,
teknologi, dan seni melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat
(UUGD Pasal 1 Ayat (2)). Nah, jelas bahwa dosen adalah ilmuwan yang harus
meneliti. Kalau dia tidak meneliti tidak boleh naik pangkat.
Perlakuannyapun
beda. Dosen disiapkan untuk bisa meneliti dan menulis karya ilmiah, dibiayai,
jika naik pangkat juga memperoleh kenaikan tnjangan fungsional yang cukup
besar. Guru? Tidak ada.
Saat
ini bahkan banyak guru dan pengawas yang stres karena tuntutan melakukan
publikasi ilmiah, sedagkan mereka tidak mampu, baik kompetensinya maupun
biayanya. Jangan sampai guru akhirnya memilih tidak melaksanakan tugas pokoknya
dengan baik, krena tuntutan menyusun publiikasi ilmiah yang sebenarnya bukan
tugas pokok guru.
Jika
kemdikbud beralasan karena diatur di Permenegpan dan) Nomor 16 Tahun 2009,
sebaiknya pernegpan dan RB itu yang harus diperbaiki, karena tidak sesuai
dengan UU Guru dan Dosen maupun dg PP Nomor 74 tentang guru dan bertentangan
dengan tugas utama guru.
Banyak
pedoman dan aturan di kemdikbud yang disiapkan oleh dosen yang tidak paham
tentang guru. Jadi kalau membuat aturan, ukurannya adalah dirinya sendiri. Dia
tidak bisa paham ada guru di Papua, NTT, SUlawesi, Maluku, dan sebaginya yang
dituntut harus melakukan tugas (tambahan yang mengada-ada) seperti dirinya,
sebagai dosen. (Jakarta,
27 Juni 2015 | Ketua
Umum PB PGRI | Sulistiyo.) (www.pgri.or.id)